Detik demi detik terhitung oleh jam, hingga saat ini kami
tetap berusaha menjadi yang terbaik. Tak kenang lagi masa lampau kami, menjadi lebih
baik dan menjadi yang terbaik tentunya. Walau begitu tak kami sisakan ingatan
akan masa lalu kami, masa yang penuh kelam yang membuat jiwa kami tak tenang.
Masa dimana nama kelas kami IX D bergema keras di ruang guru, bukan hanya
sekali namun telah berpuluh kali suara indah penuh kasih sayang serta cinta
dari mereka, bapak ibu guru bergema di ruang guru. Suara yang menanti
perubahan, perubahan kami menjadi lebih baik. Kini telah lengser kedudukan
kelam di seluruh jiwa dan raga kami, seluruhnya kami serahkan kepada kedudukan
yang terang, dimana pemerintahannya itu akan membawa kami menjadi pribadi yang
baik bahkan lebih baik lagi.
Tibalah
Andis dari balik gerbang baja berwarna hijau nan kokoh perkasa tiada tara. Dia
pun mulai berjalan ke dalam, pada langkah ke delapan ia berhenti sejenak.
Disapanya dan disalamnya orang berbaju
cokelat itu, wajah orang itu mulai terlihat dari balik kacamatanya.
“Selamat
pagi pak !!!!” seru Andis pada orang itu, yang rupa-rupanya adalah Pak Tohar.
“Selamat
pagi !!!!.....” sapa balik Guru matematika itu, kalimat itu terucap bersamaan
dengan juluran tangannya yang kemudian di sambar Andis.
Andis
tak buang-buang waktu untuk berbasa-basi untuk ini, karna masih banyak hal yang
akan dia lakukan setelah ini. Langkah kakinya berlanjut, dan semakin cepat
saja, dalam perjalanan langkah kakinya, dia sempat
melongok ke ruang V. Angel berdiri dengan seorang gadis idamannya, Evi. Entah
apa yang telah Andi mimpikan semalam, ternyata Evi berjalan mendekatinya.
“Hei
vi!!!” seru Andis sambil melambaikan tangannya.
“Apa
Ndis? ada urusan apa? “ sahut Evi berjalan menjauhi Andis lagi.
“Lhoh,
apa kira kamu mau nyamperin aku”.
“Ihhhhh
sok PD banget sih kamu!” gretak Evi bersamaan dengan Angel.
Tak
terhirau lagi masalah tersebut, Andis segara mengayuhkan kembali kedua kaki itu
menuju ruang Ujiannya. Tak beberapa lama sampailah Andis di ruang VII, tak
heran karena ruang VII hanya berjarak 15 meter-an dari depan ruang V tempat Evi
mengikuti ujian. Di sana terlihat masih sangat sepi, keheningan yang muncul di
balik hati Andi yang bergetar itu dimanfaatkan Andis untuk belajar kembali.
Hingga satu per satu temannya muncul dan menghanyutkan suasana yang hening
tadi. Jam berputar terus, tak terasa jarum jam mulai berlari dan akhirnya
menunjukan angka 7.30. Ini tandanya Ujian akan di mulai 30 menit lagi. Andis,
Aldo, Susi, Nia dan Dian yang kebetulan satu ruangan sibuk beres-beres buku
mereka. Tak lama kemudian bel berbunyi tiga kali, pratanda peserta Ujian diwajibkan
untuk memasuki ruang ujian masing-masing. Peserta di ruang VII sudah mulai
masuk, di awali oleh Dian, Andis, Nia, dan kawan-kawannya. Setelah semua
peserta memasuki ruang ujian, Andi memberanikan diri untuk memimpin doa di
ruang VII.
Dag....Dig....Dug....
Detak jantung kami,
bergemuruh semakin kencang sekencang cahaya matahari menembus ribuan kilometer
atmosfer bumi. Kami mulai menggemakan ribuan doa dan harapan kepada Allah SWT,
semoga kami diberikan kemudahan untuk menjalankan Ujian ini. Mencoba
menenangkan detak jantung ini, kami semua mengumandangkan tasbih.Hingga suara
kami membuat ruangan ini bergema dan terus bergema. Terdengar suara tasbih Susi
paling kencang, sampai salah seorang pengawas meliriknya. Beberapa saat setelah
suara tasbih kami mulai mereda.
“Teeeeet…… Teeeeet…… “
bel berbunyi untuk yang kedua kalinya, menandakan pembagian soal untuk peserta.
Para pengawas yang
laki-laki bernama Yogi membagikan soal ujian dengan kode A, B, dan C , dan
pengawas yang perempuan yang belum kami ketahui namanya itu membagikan soal
dengan kode D dan E. Hingga akhirnya semua medapatkan soal dengan kode masing
masing. Waktu itu Andi mendapatkan soal dengan kode C, sampingnya Dewa
mendapatkan soal berkode A, depannya
Susi mendapat soal dengan kode E, belakangnya Dian mendapatkan kode soal B, dan
kirinya Sandewa mendapat soal berkode D. Tidak ada kesempatan untuk mencontek
apalagi untuk bertanya, setiap ruang sudah diatur se-maksimal mungkin agar
Ujian Nasional ini berjalan lancar.
“Deg Deg… DegDeg… Deg
Deg…” gemuruh jantung Andis bertambah kencang.
Tak peduli siap atau
tidak, Andis tetap semangat dan berdoa, mulai dengan mengisi identitas diri
kemudian dia melanjutkan dengan membuka lembar demi lebar soal. Satu soal telah Andis kerjakan , begitu pula dengan yang
lainnya. Pada waktu mengerjakan soal nomer 18, Andis teringat masa kejayaan IX
D. Dahulu Andis merupakan salah satu siswa nakal di IX D, bahkan namanya sering
menjadi berita utama alias headliness
di kantor guru. Telah lebih dari seratus kalimat yang membawa namanya. Telah
menerima hasil rapor UTS I , banyak diantara nilai-nilai rapor Andis yang di
lahap si jago merah. sering temannya bahkan gurnya mencoba menasihati Andis,
namun nasihat itu masuk telinga kanan ke luar telinga kiri, tak ia hiraukan
sama sekali. Hampir semua siswa dan guru di IX D putus asa olehnya, namun
mendengar keluhan guru salah seorang temannya bernama Vilol mencoba
menasihatinya dengan segala cara, agar Andis mau brubah. Waktu itu di kantin
“Ndis, memangnya ada masalah
apa, kok kamu bisa menjadi kaya gini ?” tanya Vilol pada Andis
“Asssssss...... apaan
sih vil, kamu nggak usah ikut campur masalahku, ini kehidupanku dan nggak ada
yang bisa ngatur-ngatur aku seenaknya!” bentak Andis mengagetkan Vilol.
“Lhooh..... akukan
juga temanmu, masa’ nggak boleh mbantuin sih?”
“Kan, hanya sekedar
teman, tidak lebih?, iya kan?” tanya Andis meremehkan
“Iya....... ya........
tapi aku mau kok jadi sahabatmu, aku akan menemani dikala duka menyelimuti
hidupmu, dan dikala senyumanmu mengembang di bibirmu.” rayu Vilol.
“Aku bilang NGGAK ya
NGGAK!!!!!!!. You know?”bentak Andis.
“Dasar orang keras
kepala, liat aja nanti, baru menyesal esuk.” guman Vilol dalam hati.
Vilol mencoba membantu
Andis dimanapun dan kapanpun, namun Andis belum menyadari keberuntungannya
berkat Allah SWT yang telah mengirimkan Vilol seorang sahabat yang selalu di
aniaya bahkan selalu diremehkan oleh Andis. Vilol berpikiran bahwa Andis dapat
berubah dan menjadi yang terbaik dengan kekuatannya sendiri, sebab selama ini
Andis selalu meminta pertolongan dari Vilol dalam segala hal. Setiap hari jika
Andis tak mengerjakan tugas, pasti meminjam tugas kepada Vilol, kalau ulangan
harianpun juga tak luput dari campur tangan Vilol. Kali ini ada suatu
keganjilan yang terjadi, Vilol hari ini tidak mencontekki Andis pada waktu
ulangan harian Matematika, Vilol mencoba mendidik Andis agar mandiri. Namun
nasib Vilol kali ini tak beruntung, Andis menjebak Vilol, dan akhirnya Vilol
dituduh menyontek. Vilol pun mendapat
hukuman dari pak Tohar sang guru matematika tergalak di SMP ini. Mengelilingi
lapangan basket sebanyak 7 kali dan menulis rumus-rumus matematika dari bab 1
sampai bab 4. Melihat temannya kelelahan setelah berlari mengelilingi lapangan
basket karena ulahnya, Andis tak ada rasa kasihan, kata minta maaf saja tidak
terlontar dari mulut merah itu.
“Nih Vil, aku bawain
minum buat kamu” ujar Andis sambil menyodorkan sebotol air mineral.
“Makasih ya... kamu
baik banget Ndis, ku kira kamu nggak peduli sama akui” ujar Vilol
Belum sempat mengambil
sebotol air mineral itu
“Sttttt....” botolnya
di sahut Andis.
“Eitttss.... mau?”
ujar Andis seraya meminum air mineral tersebut.
“Beli sendiri dong”
tambah Andis.
“Tapikan aku belum
selesai dihukum”
“Itu urusan kamu, dan
masalah mu!”
“Wah siapa tuh yang
datang Ndis?” sela Anton di tengah percakapan Andis dan Vilol sambil menunjuk
ke arah Evi.
Evi mendekati mereka
bertiga, “Ada apaan sih ini, kok ribut banget. Dari kelasku kedengeran tau!”
“Nggak papa kok Vi, cuman
mau menjaili Vilol aja, mau ikutan nggak Vi?” jelas Andis
“Dasar kamu Ndis,
sukanya cuman ngebully orang lain
aja, makanya nggak ada yang mau temenan sama kamu!. Vilol itu kan juga temenmu,
di yang selama ini membantu kamu, kamu nggak tau gimana susahnya menjadi dia.
Kamu hanya bisa menikmati hasil jerit payahnya, sedangkan kamu menyiksa Vilol
terus!, apa sih maumu?” gretak Evi, yang terbawa emosi. Dengan tak sadar Evi
telah membongkar rahasia yang telah dua tahun di pendamnya bersama Vilol.
“Apa......Apa
maksudmu?, Vilol ngapain?” Andis tak percaya dengan apa yang telah sepasang
telinganya dengar.
“Lupakan aja lah Ndis,
itu juga nggak bisa merubahmu, dan tolong mulai sekarang jangan berhubungan
dengan Vilol!!!” Evi menarik tangan Vilol dan menjauh dari Andis dan Anton.
“Oh......ya, sekalian
jangan ganggu orang lain lagi sebelum kamu mendapat hukum karma”
Akhirnya selama lebih
dari dua bulan keberadaan Andis tak menerjang di telinga Vilol dan Evi. Namun,
kebaikan Vilol yang selalu membantu bagaikan malaikat yang dikirim kepada Andis
harus berakhir. Istirahat kedua di mulai, bel telah berbuni 1 menit lalu,
sampailah Andis di kantin. Terdengar sayup-sayup suara speaker sekolahan
memberitakan bahwa Vilol tertimpa musibah. Andis yang tak begitu mendengarnya
masih berperilaku seperti biasa, dia belum mengetahui bahwa Vilol mengalami
kecelakaan. Barulah saat bel masuk berbunyi dan siswa IX D masuk ke kelas,
Andis mendengarkan ocehan teman-temannya yang lain. Mereka merasa gelisah, Andis
masih penasaran apa yang membuat suasana di kelasnya menjadi lebih gaduh dari
pada hari biasanya.
“Nda, ada apa sih
sebenarnya?” tanya Andis pada Nanda teman sebangkunya.
“Lhohh kamu kok nggak
tau, ku kira kamu yang duluan tau. Dari mana aja sih kamu, berita ini aja nggak
tau” basa-basi Nanda
“Mang ada apa sih?,
capcus dikit napa?” paksa Andis penasaran
“s.s.s.s....s.s.s.s.....
Vilol Ndis........” Evi mengatakannya dengan bergetar
“Vilol kenapa?, ngomong yang jelas dong Vi!”
“Vilol.....Vi.....lol.....
kecelakaan” ujar Evi terbata-bata
“APA.......?” A ndis kaget mendengarnya
“Beneran?” tanya Andis
kembali.
“Benera.n, Vilol
sekarang ada di rumah sakit. Nanti sepulang sekolah aku dan teman-teman mau menjenguknya”
jelas Evi panjang lebar
“Iya…. Aku juga ikut”
tambah Nanda
Kejadian itu membuat
kelas kami berantakan, tak ada yang fokus oleh pelajaran, begitu pula dengan
Andis. Andis sibuk dengan panjatan doa-doanya, dia menyesal telah memperlakukan
Vilol seperti itu, namun dia tak boleh larut dalam kesedihan, dia bangun dan
bangkit, masih ada kesempatan untuk meminta maaf kepada Vilol, itu pikirnya. Siang
itu, sepulang sekolah Evi, Dinda, Clara, dan Anton menuju rumah sakit dimana
Vilol dirawat.
“Ayo Vi cepetan, dari
tadi ke kamar mandi mulu” ujar Clara yang melihat Evi di kamar mandi
“Ya…..ya….. sabar
sedikit kenapa?”
“Cepetan, nanti
ditinggal baru tau rasa!” gretak Clara lagi
“Ya…… ya….. ini juga
udah selesai kok, tinggal pakai rok” Evi berkata dengan tergesa-gesa.
“Ayo Evi cepetan!!”
sambung Dinda, yang saat itu juga di kamar mandi cewek
“Kalian kenapa sih?,
sabar sedikit lagi nggapa?”
Setelah semuanya
kelar, mereka berangkat menuju rumah sakit. Evi, Anton, dan Dinda berangkat
naik taksi, sementara Clara berangkat bersama Bu Eri guru bahasa inggris alias
mamanya. Sesampainya di rumah sakit, mereka buru-buru meloncat dari tempat
duduk, berlari menuju lift. Tak perlu melihat kemana-mana, dengan cepat Andis
menutup pintu lift itu, sesaat setelah memencat angka 3, lift menerbangkan
mereka ke lantai 3 dimana Vilol dirawat. Kedua kaki mereka berlari secepat
mungkin, UGD, ya, UGD itulah kamar Vilol sekarang. Sampailah, dan mulai
terlihat airmata yang terus mengalir deras di atas pipi kedua orang tuanya.
Terlihat juga Andis di sana.
“Ngapain kamu ke sini,
dasar orang nggak punya hati. Hatinya ditikam nafsu. Selama ini kamu nyakitin
Vilol terus, kamu mau minta maaf sama Vilol segampang itu?” ujar Evi terbawa
emosi
“Nggak boleh?, aku
juga manusia, masih punya hati, aku….” belum sempat membela.
“Selama ini kamu dah
menghina Andis, kamu nggak tau perasaannya. Aku tak yakin jika kamu bisa
menjalani kehidupan sepertinya. Ini semua gara-gara kamu, kamu telah
menghancurkan harapannya untuk merubah dunia, apa itu masih kurang bagimu,
apakah kamu baru puas jika Andis meninggal” terlampiaskan kekecewaan Evi selama
ini, air matanya meluncur dari kelopak matanya.
“………” tak sepatah
katapun yang terlontar dari mulut Andis, dia menyadiri kesalahannya, dia kecewa
atas perilakunya.
“Sudahlah Vi, ini
bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Di suasana seperti ini seharusnya kita
berdoa kepada Tuhan” kata Clara mencoba melerai
“Iya kalian itu malah
pada rebut, ini bukan waktunya” tambah Dinda
Perang mulut mereka
mereda, namun muncul perang air mata, mereka saling berlomba mengeluarkan air
mata. Di sini keberadaan Andis dihiraukan untuk sementara.
Tik….Tik….Tik….
Detik jam kemudian
dokterpun keluar dari ruang UGD, dia menyatakan bahwa nyawa Andis tak tertolong
lagi. Semua orang yang ada di situ menangis histeris, tak luput lelaki batu
itu. Andis merasa sangat kecewa dan menyesal terhadap perilaku yang semena-mena
terhadap Vilol.
Acara pemakaman telah
dilaksanakan, Andis sangat menyesal. Di sana, di rumah Vilol, Andis berada, dia
tak mau pulang. Bu Tata, mama Vilol telah memaafkan kelakuan Andis pada anak
satu-satunya itu. Bu Tata membawa sebuah
buku. Di berikanlah buku yang rupa-rupanya adalah diarynya Vilol. Andis lembar
demi lembar dia baca, dan berakhir pada tanggal 27 Januari 2012
Dear : Diary
27 Januari 2012
Yah, walaupun Andis nggak mau jadi sahabatku, ya nggak apa-apa lah. Yang
penting aku berharap Andis dapat berubah. Walau tak lama lagi aku nyawaku terbang
ke angkasa, Andis harus tetap bersemangat. Aku yakin Andis bisa, tanpa aku.
Yakinlah Ndis bahwa kamu bisa, dalam hati manusia yang paling dalam terdapat
cahaya. Cahaya itu akan membimbingmu menjadi lebih baik. Lihat dan rasakan
hatimu, dia akan menuntunmu ke dalam kebajikan. Ku berharap Andis jadi pribadi
yang baik, sehingga banyak orang yang akan menemanimu kapan dan dimana pun.
Isi diary Vilol sangat
menyentuh hati setiap pembaca, tak luput lelaki batu itu. Dia terharu, satu
demi satu air matanya terjun ke diary Vilol. Kini Vilol telah tiada, hanya
penyesalan yang dapat Andis rasakan saat itu. Terjadilah perubahan yang
signifikan dikehidupan Andis, dia sekarang adalah pribadi yang mulia, dia
pintar, rajin, ramah, dan sopan tak seperti dahulu.
Andis melanjutkan
pekerjaannya, dan kemudian setelah butir-butir soal Ujian Nasional itu selesai,
dia berdoa kepada Tuhan, agar semua mendapat nilai yang memuaskan. Waktu berjalan
begitu cepat, 4 hari telah ia lalui dengan semangat yang berkobar-kobar. Kini
saatnya menunggu, menunggu hasilnya. Akhirnya setelah menunggu beberapa hari,
hasilnya sudah keluar.
Hari itu Andis ke
sekolahan, untuk melihat hasil jerit payahnya, dia berjalan menuju lapangan
basket, terpampang 14 kertas di papan hitam di depan aula. Andis bmenggerakan
kakinya yang terasa tertanam di beton lapangan. Perlahan namun pasti, Andis
semakin dekat dengan papan yang telah dikerumuni teman-temannya. Dia bergantian
melihat kertas yang terpampang itu satu demi satu. Terlihat olehnya kertas yang
memuat namanya.
No
|
Nama
|
Kelas
|
Bhs Indonesia
|
Bhs. Inggris
|
Matematika
|
IPA
|
1
|
Andis Aldin Pratama
|
IX D
|
09.80
|
09.50
|
10.00
|
09.75
|
2
|
Dinda Jeny Putri
|
IX D
|
10.00
|
09.80
|
09.25
|
09.50
|
3
|
Muhammad Halim R
|
IX H
|
09.60
|
09.80
|
09.50
|
09.00
|
Dia sangat senang
setelah kedua bola matanya
melihat kertas itu, langsung ia meloncat-loncat dan
bersujud syukur. Vilol menyambar
pikirannya dengan sekejap, langsung Andis berlari menuju tempat pemakaman
Vilol. Langkah kakinya berhenti di bawah pohon kamboja
yang rindang meneduhkan hati, dia menangis dan
menagis dan semakin menangis. Entah apa yang menyebabkan ia menangis dia tak tahu
itu, rasa terharu, kecewa, senang, kesal, tercampur di benaknya. Hingga ia
tertidur pulas di bawah pohon kamboja dan di atas kuburan Vilol. Andis tak
percaya bahwa dia mendapatkan nilai sebagus itu, begitu pula dengan seluruh
guru, mereka merasa itu adalah suat keajaiban, namun Allah SWT berkehendak
seperti itu. Dia tak bisa berkata-kata lagi, mulutnya seolah dikunci dengan
gembok baja. Dia merasa sangat terharu saat penerimaan piala oleh sekolahan bagi
para siswa berprestasi.
Keberuntungan tidak
berpihak pada Andis sepenuhnya, siswa lainpun juga mendapatkan nilai yang
bagus, yah, kali ini, semua siswa di SMP ini lulus 100%. Namun kemenangan yang
terasa sekali adalah kemenangan untuk IX
D, dimana dahulu mereka adalah siswa yang mulutnya naik turun alias cerwet dan otaknya
tiada isinya alias bodoh. Kini kesadaran diri mereka akan kebajikan telah
tumbuh subur di benak mereka. Hampir seluruh siswa kelas ini mendapatkan
rata-rata 90 untuk
setiap mata pelajarannya. Harapan akan perubahan telah mereka laksanakan,
seolah keajaiban yang sangat mustahil bagi mereka untuk berubah. Kepasrahan
yang mereka gantungkan pada kehendak Allah SWT ternyata mendapat respon yang
baik, asalkan mereka benar-benar berniat untuk berubah. Kini tiada kata angkuh
lagi bagi mereka yang telah menginjak nama kelas IX D, kami menyatakan dengan
tegas bahwa “KAMI MAU DAN AKAN BERUBAH” dan kata itu memberi motivasi sehingga memicu mereka untuk bersaing secara
sehat tentunya. Mereka menangis histeris akan apa yang
mereka lihat di papan hitam tersebut. Air mata dan rasa terharu yang ada pada
mereka, di lihat oleh guru-guru SMP ini. Mereka ikut bersyukur atas kejadian
ini, mereka terharu melihat mereka menangis histeris.
“Hkkkkkk….. Hkkkkkk…..”
tangisan kami semakin mengebu-gebu.
“Sudah lah, kalian adalah
pemenang, kalian pantas mendapatkan ini. Ayo, pada baqngun” ujar Bu Nisita,
wali kelas kami, membangunkan kami.
“Tapi bu, kami tidak pantas
mendapatkan ini, kami telah berbuat dosa besar,…..” ujar Clara, sang wakil
ketua kelas.
“Sudah, tenangkan diri kalian,
bersikaplah seperti seorang pemenang. Kemenangan itu tak pandang bulu akan masa
lalu seseorang. Percayalah, kalian itu pemenang” tenang Bu Nisita.
Sementara mereka sibuk dengan
tangisannya, Andis telah terjaga dari mimpinya. Dia kembali ke sekolahan,
karena dia masih harus melaksanakan cap tiga jari.
~~~ Happy Ending~~~
No comments:
Post a Comment