Wednesday, 12 December 2012

Cerpenku (CONTH CERPEN)


Detik demi detik terhitung oleh jam, hingga saat ini kami tetap berusaha menjadi yang terbaik. Tak kenang lagi masa lampau kami, menjadi lebih baik dan menjadi yang terbaik tentunya. Walau begitu tak kami sisakan ingatan akan masa lalu kami, masa yang penuh kelam yang membuat jiwa kami tak tenang. Masa dimana nama kelas kami IX D bergema keras di ruang guru, bukan hanya sekali namun telah berpuluh kali suara indah penuh kasih sayang serta cinta dari mereka, bapak ibu guru bergema di ruang guru. Suara yang menanti perubahan, perubahan kami menjadi lebih baik. Kini telah lengser kedudukan kelam di seluruh jiwa dan raga kami, seluruhnya kami serahkan kepada kedudukan yang terang, dimana pemerintahannya itu akan membawa kami menjadi pribadi yang baik bahkan lebih baik lagi.
Tibalah Andis dari balik gerbang baja berwarna hijau nan kokoh perkasa tiada tara. Dia pun mulai berjalan ke dalam, pada langkah ke delapan ia berhenti sejenak. Disapanya dan disalamnya orang berbaju  cokelat itu, wajah orang itu mulai terlihat dari balik kacamatanya.
“Selamat pagi pak !!!!” seru Andis pada orang itu, yang rupa-rupanya adalah Pak Tohar.
“Selamat pagi !!!!.....” sapa balik Guru matematika itu, kalimat itu terucap bersamaan dengan juluran tangannya yang kemudian di sambar Andis.
Andis tak buang-buang waktu untuk berbasa-basi untuk ini, karna masih banyak hal yang akan dia lakukan setelah ini. Langkah kakinya berlanjut, dan semakin cepat saja, dalam perjalanan langkah kakinya, dia sempat melongok ke ruang V. Angel berdiri dengan seorang gadis idamannya, Evi. Entah apa yang telah Andi mimpikan semalam, ternyata Evi berjalan mendekatinya.

“Hei vi!!!” seru Andis sambil melambaikan tangannya.
“Apa Ndis? ada urusan apa? “ sahut Evi berjalan menjauhi Andis lagi.
“Lhoh, apa kira kamu mau nyamperin aku”.
“Ihhhhh sok PD banget sih kamu!” gretak Evi bersamaan dengan Angel.
Tak terhirau lagi masalah tersebut, Andis segara mengayuhkan kembali kedua kaki itu menuju ruang Ujiannya. Tak beberapa lama sampailah Andis di ruang VII, tak heran karena ruang VII hanya berjarak 15 meter-an dari depan ruang V tempat Evi mengikuti ujian. Di sana terlihat masih sangat sepi, keheningan yang muncul di balik hati Andi yang bergetar itu dimanfaatkan Andis untuk belajar kembali. Hingga satu per satu temannya muncul dan menghanyutkan suasana yang hening tadi. Jam berputar terus, tak terasa jarum jam mulai berlari dan akhirnya menunjukan angka 7.30. Ini tandanya Ujian akan di mulai 30 menit lagi. Andis, Aldo, Susi, Nia dan Dian yang kebetulan satu ruangan sibuk beres-beres buku mereka. Tak lama kemudian bel berbunyi tiga kali, pratanda peserta Ujian diwajibkan untuk memasuki ruang ujian masing-masing. Peserta di ruang VII sudah mulai masuk, di awali oleh Dian, Andis, Nia, dan kawan-kawannya. Setelah semua peserta memasuki ruang ujian, Andi memberanikan diri untuk memimpin doa di ruang VII.

Dag....Dig....Dug....
Detak jantung kami, bergemuruh semakin kencang sekencang cahaya matahari menembus ribuan kilometer atmosfer bumi. Kami mulai menggemakan ribuan doa dan harapan kepada Allah SWT, semoga kami diberikan kemudahan untuk menjalankan Ujian ini. Mencoba menenangkan detak jantung ini, kami semua mengumandangkan tasbih.Hingga suara kami membuat ruangan ini bergema dan terus bergema. Terdengar suara tasbih Susi paling kencang, sampai salah seorang pengawas meliriknya. Beberapa saat setelah suara tasbih kami mulai mereda.

“Teeeeet…… Teeeeet…… “ bel berbunyi untuk yang kedua kalinya, menandakan pembagian soal untuk peserta.
Para pengawas yang laki-laki bernama Yogi membagikan soal ujian dengan kode A, B, dan C , dan pengawas yang perempuan yang belum kami ketahui namanya itu membagikan soal dengan kode D dan E. Hingga akhirnya semua medapatkan soal dengan kode masing masing. Waktu itu Andi mendapatkan soal dengan kode C, sampingnya Dewa mendapatkan soal berkode  A, depannya Susi mendapat soal dengan kode E, belakangnya Dian mendapatkan kode soal B, dan kirinya Sandewa mendapat soal berkode D. Tidak ada kesempatan untuk mencontek apalagi untuk bertanya, setiap ruang sudah diatur se-maksimal mungkin agar Ujian Nasional ini berjalan lancar.
“Deg Deg… DegDeg… Deg Deg…” gemuruh jantung Andis bertambah kencang.
Tak peduli siap atau tidak, Andis tetap semangat dan berdoa, mulai dengan mengisi identitas diri kemudian dia melanjutkan dengan membuka lembar demi lebar soal. Satu soal  telah Andis kerjakan , begitu pula dengan yang lainnya. Pada waktu mengerjakan soal nomer 18, Andis teringat masa kejayaan IX D. Dahulu Andis merupakan salah satu siswa nakal di IX D, bahkan namanya sering menjadi berita utama alias headliness di kantor guru. Telah lebih dari seratus kalimat yang membawa namanya. Telah menerima hasil rapor UTS I , banyak diantara nilai-nilai rapor Andis yang di lahap si jago merah. sering temannya bahkan gurnya mencoba menasihati Andis, namun nasihat itu masuk telinga kanan ke luar telinga kiri, tak ia hiraukan sama sekali. Hampir semua siswa dan guru di IX D putus asa olehnya, namun mendengar keluhan guru salah seorang temannya bernama Vilol mencoba menasihatinya dengan segala cara, agar Andis mau brubah. Waktu itu di kantin
“Ndis, memangnya ada masalah apa, kok kamu bisa menjadi kaya gini ?” tanya Vilol pada Andis
“Asssssss...... apaan sih vil, kamu nggak usah ikut campur masalahku, ini kehidupanku dan nggak ada yang bisa ngatur-ngatur aku seenaknya!” bentak Andis mengagetkan Vilol.
“Lhooh..... akukan juga temanmu, masa’ nggak boleh mbantuin sih?”
“Kan, hanya sekedar teman, tidak lebih?, iya kan?” tanya Andis meremehkan
“Iya....... ya........ tapi aku mau kok jadi sahabatmu, aku akan menemani dikala duka menyelimuti hidupmu, dan dikala senyumanmu mengembang di bibirmu.” rayu Vilol.
“Aku bilang NGGAK ya NGGAK!!!!!!!. You know?”bentak Andis.
“Dasar orang keras kepala, liat aja nanti, baru menyesal esuk.” guman Vilol dalam hati.
Vilol mencoba membantu Andis dimanapun dan kapanpun, namun Andis belum menyadari keberuntungannya berkat Allah SWT yang telah mengirimkan Vilol seorang sahabat yang selalu di aniaya bahkan selalu diremehkan oleh Andis. Vilol berpikiran bahwa Andis dapat berubah dan menjadi yang terbaik dengan kekuatannya sendiri, sebab selama ini Andis selalu meminta pertolongan dari Vilol dalam segala hal. Setiap hari jika Andis tak mengerjakan tugas, pasti meminjam tugas kepada Vilol, kalau ulangan harianpun juga tak luput dari campur tangan Vilol. Kali ini ada suatu keganjilan yang terjadi, Vilol hari ini tidak mencontekki Andis pada waktu ulangan harian Matematika, Vilol mencoba mendidik Andis agar mandiri. Namun nasib Vilol kali ini tak beruntung, Andis menjebak Vilol, dan akhirnya Vilol dituduh menyontek.  Vilol pun mendapat hukuman dari pak Tohar sang guru matematika tergalak di SMP ini. Mengelilingi lapangan basket sebanyak 7 kali dan menulis rumus-rumus matematika dari bab 1 sampai bab 4. Melihat temannya kelelahan setelah berlari mengelilingi lapangan basket karena ulahnya, Andis tak ada rasa kasihan, kata minta maaf saja tidak terlontar dari mulut merah itu.
“Nih Vil, aku bawain minum buat kamu” ujar Andis sambil menyodorkan sebotol air mineral.
“Makasih ya... kamu baik banget Ndis, ku kira kamu nggak peduli sama akui” ujar Vilol
Belum sempat mengambil sebotol air mineral itu
“Sttttt....” botolnya di sahut Andis.
“Eitttss.... mau?” ujar Andis seraya meminum air mineral tersebut.
“Beli sendiri dong” tambah Andis.
“Tapikan aku belum selesai dihukum”
“Itu urusan kamu, dan masalah mu!”
“Wah siapa tuh yang datang Ndis?” sela Anton di tengah percakapan Andis dan Vilol sambil menunjuk ke arah Evi.
Evi mendekati mereka bertiga, “Ada apaan sih ini, kok ribut banget. Dari kelasku kedengeran tau!”
“Nggak papa kok Vi, cuman mau menjaili Vilol aja, mau ikutan nggak Vi?” jelas Andis
“Dasar kamu Ndis, sukanya cuman ngebully orang lain aja, makanya nggak ada yang mau temenan sama kamu!. Vilol itu kan juga temenmu, di yang selama ini membantu kamu, kamu nggak tau gimana susahnya menjadi dia. Kamu hanya bisa menikmati hasil jerit payahnya, sedangkan kamu menyiksa Vilol terus!, apa sih maumu?” gretak Evi, yang terbawa emosi. Dengan tak sadar Evi telah membongkar rahasia yang telah dua tahun di pendamnya bersama Vilol.
“Apa......Apa maksudmu?, Vilol ngapain?” Andis tak percaya dengan apa yang telah sepasang telinganya dengar.
“Lupakan aja lah Ndis, itu juga nggak bisa merubahmu, dan tolong mulai sekarang jangan berhubungan dengan Vilol!!!” Evi menarik tangan Vilol dan menjauh dari Andis dan Anton.
“Oh......ya, sekalian jangan ganggu orang lain lagi sebelum kamu mendapat hukum karma”
Akhirnya selama lebih dari dua bulan keberadaan Andis tak menerjang di telinga Vilol dan Evi. Namun, kebaikan Vilol yang selalu membantu bagaikan malaikat yang dikirim kepada Andis harus berakhir. Istirahat kedua di mulai, bel telah berbuni 1 menit lalu, sampailah Andis di kantin. Terdengar sayup-sayup suara speaker sekolahan memberitakan bahwa Vilol tertimpa musibah. Andis yang tak begitu mendengarnya masih berperilaku seperti biasa, dia belum mengetahui bahwa Vilol mengalami kecelakaan. Barulah saat bel masuk berbunyi dan siswa IX D masuk ke kelas, Andis mendengarkan ocehan teman-temannya yang lain. Mereka merasa gelisah, Andis masih penasaran apa yang membuat suasana di kelasnya menjadi lebih gaduh dari pada hari biasanya.
“Nda, ada apa sih sebenarnya?” tanya Andis pada Nanda teman sebangkunya.
“Lhohh kamu kok nggak tau, ku kira kamu yang duluan tau. Dari mana aja sih kamu, berita ini aja nggak tau” basa-basi Nanda
“Mang ada apa sih?, capcus dikit napa?” paksa Andis penasaran
“s.s.s.s....s.s.s.s..... Vilol Ndis........” Evi mengatakannya dengan bergetar
“Vilol kenapa?, ngomong yang jelas dong Vi!”
“Vilol.....Vi.....lol..... kecelakaan” ujar Evi terbata-bata
“APA.......?” A ndis kaget mendengarnya
“Beneran?” tanya Andis kembali.
“Benera.n, Vilol sekarang ada di rumah sakit. Nanti sepulang sekolah aku dan teman-teman mau menjenguknya” jelas Evi panjang lebar
“Iya…. Aku juga ikut” tambah Nanda
Kejadian itu membuat kelas kami berantakan, tak ada yang fokus oleh pelajaran, begitu pula dengan Andis. Andis sibuk dengan panjatan doa-doanya, dia menyesal telah memperlakukan Vilol seperti itu, namun dia tak boleh larut dalam kesedihan, dia bangun dan bangkit, masih ada kesempatan untuk meminta maaf kepada Vilol, itu pikirnya. Siang itu, sepulang sekolah Evi, Dinda, Clara, dan Anton menuju rumah sakit dimana Vilol dirawat.
“Ayo Vi cepetan, dari tadi ke kamar mandi mulu” ujar Clara yang melihat Evi di kamar mandi
“Ya…..ya….. sabar sedikit kenapa?”
“Cepetan, nanti ditinggal baru tau rasa!” gretak Clara lagi
“Ya…… ya….. ini juga udah selesai kok, tinggal pakai rok” Evi berkata dengan tergesa-gesa.
“Ayo Evi cepetan!!” sambung Dinda, yang saat itu juga di kamar mandi cewek
“Kalian kenapa sih?, sabar sedikit lagi nggapa?”
Setelah semuanya kelar, mereka berangkat menuju rumah sakit. Evi, Anton, dan Dinda berangkat naik taksi, sementara Clara berangkat bersama Bu Eri guru bahasa inggris alias mamanya. Sesampainya di rumah sakit, mereka buru-buru meloncat dari tempat duduk, berlari menuju lift. Tak perlu melihat kemana-mana, dengan cepat Andis menutup pintu lift itu, sesaat setelah memencat angka 3, lift menerbangkan mereka ke lantai 3 dimana Vilol dirawat. Kedua kaki mereka berlari secepat mungkin, UGD, ya, UGD itulah kamar Vilol sekarang. Sampailah, dan mulai terlihat airmata yang terus mengalir deras di atas pipi kedua orang tuanya. Terlihat juga Andis di sana.
“Ngapain kamu ke sini, dasar orang nggak punya hati. Hatinya ditikam nafsu. Selama ini kamu nyakitin Vilol terus, kamu mau minta maaf sama Vilol segampang itu?” ujar Evi terbawa emosi
“Nggak boleh?, aku juga manusia, masih punya hati, aku….” belum sempat membela.
“Selama ini kamu dah menghina Andis, kamu nggak tau perasaannya. Aku tak yakin jika kamu bisa menjalani kehidupan sepertinya. Ini semua gara-gara kamu, kamu telah menghancurkan harapannya untuk merubah dunia, apa itu masih kurang bagimu, apakah kamu baru puas jika Andis meninggal” terlampiaskan kekecewaan Evi selama ini, air matanya meluncur dari kelopak matanya.
“………” tak sepatah katapun yang terlontar dari mulut Andis, dia menyadiri kesalahannya, dia kecewa atas perilakunya.
“Sudahlah Vi, ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan. Di suasana seperti ini seharusnya kita berdoa kepada Tuhan” kata Clara mencoba melerai
“Iya kalian itu malah pada rebut, ini bukan waktunya” tambah Dinda
Perang mulut mereka mereda, namun muncul perang air mata, mereka saling berlomba mengeluarkan air mata. Di sini keberadaan Andis dihiraukan untuk sementara.
Tik….Tik….Tik….
Detik jam kemudian dokterpun keluar dari ruang UGD, dia menyatakan bahwa nyawa Andis tak tertolong lagi. Semua orang yang ada di situ menangis histeris, tak luput lelaki batu itu. Andis merasa sangat kecewa dan menyesal terhadap perilaku yang semena-mena terhadap Vilol.
Acara pemakaman telah dilaksanakan, Andis sangat menyesal. Di sana, di rumah Vilol, Andis berada, dia tak mau pulang. Bu Tata, mama Vilol telah memaafkan kelakuan Andis pada anak satu-satunya  itu. Bu Tata membawa sebuah buku. Di berikanlah buku yang rupa-rupanya adalah diarynya Vilol. Andis lembar demi lembar dia baca, dan berakhir pada tanggal 27 Januari 2012

Dear : Diary
27 Januari 2012
Yah, walaupun Andis nggak mau jadi sahabatku, ya nggak apa-apa lah. Yang penting aku berharap Andis dapat berubah. Walau tak lama lagi aku nyawaku terbang ke angkasa, Andis harus tetap bersemangat. Aku yakin Andis bisa, tanpa aku. Yakinlah Ndis bahwa kamu bisa, dalam hati manusia yang paling dalam terdapat cahaya. Cahaya itu akan membimbingmu menjadi lebih baik. Lihat dan rasakan hatimu, dia akan menuntunmu ke dalam kebajikan. Ku berharap Andis jadi pribadi yang baik, sehingga banyak orang yang akan menemanimu kapan dan dimana pun.

Isi diary Vilol sangat menyentuh hati setiap pembaca, tak luput lelaki batu itu. Dia terharu, satu demi satu air matanya terjun ke diary Vilol. Kini Vilol telah tiada, hanya penyesalan yang dapat Andis rasakan saat itu. Terjadilah perubahan yang signifikan dikehidupan Andis, dia sekarang adalah pribadi yang mulia, dia pintar, rajin, ramah, dan sopan tak seperti dahulu.
Andis melanjutkan pekerjaannya, dan kemudian setelah butir-butir soal Ujian Nasional itu selesai, dia berdoa kepada Tuhan, agar semua mendapat nilai yang memuaskan. Waktu berjalan begitu cepat, 4 hari telah ia lalui dengan semangat yang berkobar-kobar. Kini saatnya menunggu, menunggu hasilnya. Akhirnya setelah menunggu beberapa hari, hasilnya sudah keluar.
Hari itu Andis ke sekolahan, untuk melihat hasil jerit payahnya, dia berjalan menuju lapangan basket, terpampang 14 kertas di papan hitam di depan aula. Andis bmenggerakan kakinya yang terasa tertanam di beton lapangan. Perlahan namun pasti, Andis semakin dekat dengan papan yang telah dikerumuni teman-temannya. Dia bergantian melihat kertas yang terpampang itu satu demi satu. Terlihat olehnya kertas yang memuat namanya.
No
Nama
Kelas
Bhs Indonesia
Bhs. Inggris
Matematika
IPA
1
Andis Aldin Pratama
IX D
09.80
09.50
10.00
09.75
2
Dinda Jeny Putri
IX D
10.00
09.80
09.25
09.50
3
Muhammad Halim R
IX H
09.60
09.80
09.50
09.00







Dia sangat senang setelah kedua bola matanya melihat kertas itu, langsung ia meloncat-loncat dan bersujud syukur. Vilol menyambar pikirannya dengan sekejap, langsung Andis berlari menuju tempat pemakaman Vilol. Langkah kakinya berhenti di bawah pohon kamboja yang rindang meneduhkan hati, dia menangis dan menagis dan semakin menangis. Entah apa yang menyebabkan ia menangis dia tak tahu itu, rasa terharu, kecewa, senang, kesal, tercampur di benaknya. Hingga ia tertidur pulas di bawah pohon kamboja dan di atas kuburan Vilol. Andis tak percaya bahwa dia mendapatkan nilai sebagus itu, begitu pula dengan seluruh guru, mereka merasa itu adalah suat keajaiban, namun Allah SWT berkehendak seperti itu. Dia tak bisa berkata-kata lagi, mulutnya seolah dikunci dengan gembok baja. Dia merasa sangat terharu saat penerimaan piala oleh sekolahan bagi para siswa berprestasi.
Keberuntungan tidak berpihak pada Andis sepenuhnya, siswa lainpun juga mendapatkan nilai yang bagus, yah, kali ini, semua siswa di SMP ini lulus 100%. Namun kemenangan yang terasa sekali adalah kemenangan  untuk IX D, dimana dahulu mereka adalah siswa yang mulutnya naik turun alias cerwet dan otaknya tiada isinya alias bodoh. Kini kesadaran diri mereka akan kebajikan telah tumbuh subur di benak mereka. Hampir seluruh siswa kelas ini mendapatkan rata-rata 90 untuk setiap mata pelajarannya. Harapan akan perubahan telah mereka laksanakan, seolah keajaiban yang sangat mustahil bagi mereka untuk berubah. Kepasrahan yang mereka gantungkan pada kehendak Allah SWT ternyata mendapat respon yang baik, asalkan mereka benar-benar berniat untuk berubah. Kini tiada kata angkuh lagi bagi mereka yang telah menginjak nama kelas IX D, kami menyatakan dengan tegas bahwa “KAMI MAU DAN AKAN BERUBAH” dan kata itu memberi motivasi sehingga memicu mereka untuk bersaing secara sehat tentunya. Mereka menangis histeris akan apa yang mereka lihat di papan hitam tersebut. Air mata dan rasa terharu yang ada pada mereka, di lihat oleh guru-guru SMP ini. Mereka ikut bersyukur atas kejadian ini, mereka terharu melihat mereka menangis histeris.
“Hkkkkkk….. Hkkkkkk…..” tangisan kami semakin mengebu-gebu.
“Sudah lah, kalian adalah pemenang, kalian pantas mendapatkan ini. Ayo, pada baqngun” ujar Bu Nisita, wali kelas kami, membangunkan kami.
“Tapi bu, kami tidak pantas mendapatkan ini, kami telah berbuat dosa besar,…..” ujar Clara, sang wakil ketua kelas.
“Sudah, tenangkan diri kalian, bersikaplah seperti seorang pemenang. Kemenangan itu tak pandang bulu akan masa lalu seseorang. Percayalah, kalian itu pemenang” tenang Bu Nisita.
Sementara mereka sibuk dengan tangisannya, Andis telah terjaga dari mimpinya. Dia kembali ke sekolahan, karena dia masih harus melaksanakan cap tiga jari.
~~~ Happy Ending~~~

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Terima Kasih Atas Kunjungannya